Ohayou.
Brrr... pagi ini
begitu menggigilkan. Daun sudah berguguran sejak bulan lalu dan menyisakan
beberapa yang masih enggan untuk menanggalkan diri. Natal tinggal menghitung
hari, tapi aku belum mempunyai rencana bagus untuk melewatkannya.
Ini adalah
Desember kedua yang kuhabiskan di negeri matahari terbit. Tahun lalu aku
merayakan Natal di Kanazawa, tepatnya di Pantai
Kongo di Semenanjung Noto bersama beberapa teman
sekolahku di SMA Teitan. Sebenarnya kami tidak benar-benar merayakan hari besar
tersebut. Kami hanya memanfaatkan hari liburnya untuk sekedar bersenang-senang
dengan melakukan tur sederhana keluar kota. Sudah hampir dua tahun aku menetap
di sini dan aku sudah mengelilingi hampir seluruh prefektur di negeri ini.
Hohoho.
Seperti orang
Jepang saja. Bahkan mungkin penduduk Jepang belum pernah mengadakan tur
sepertiku. Sejujurnya, aku bukan penduduk Jepang asli. Aku berasal dari negeri
seberang di sebelah selatan
Semenanjung Malaya. Uh-oh. Aku muak hendak menyebut namanya.
Yang jelas aku berasal dari negeri tropis yang panas dan tak patut kubanggakan.
Sudahlah, lebih
baik aku pergi ke sekolah saja.
***
Krriieettt...
Kubuka perlahan
pintu apartemen yang sudah bobrok. Engselnya sudah rusak dan pelat kuningannya
hampir copot. Kusen pintunya juga sudah reyot dan sama sekali memprihatinkan.
Tapi entah mengapa Kakek Osawa—pemilik apartemen—tidak mau menggantinya dengan
alasan penghematan biaya. Kurasa ini bukan lagi bernama apartemen. Mungkin
lebih baik disebut rumah susun.
“Ohayou, Takuma-san!”
Oh,
sial. Suara ceria yang khas membuat langkahku terhenti
seketika. Aku menoleh ke apartemen sebelah dan mendapati seorang gadis berumur empat belas tahun
melongokkan kepalanya dengan senyum manis di bibirnya.
“Ohayou, Haru-chan.” Sapaku terpaksa,
melihat keramahan tetangga kecilku. “Kau sedang apa?”
Haru-chan
membuka pintu lebih lebar dan menghampiriku. “Boleh aku menitip sesuatu padamu?
Maruko akan mengikuti kompetisi membuat komik di majalah komik Ocha. Dia tidak sempat membelinya dan aku juga tidak sempat
mampir ke toko karena aku naik kereta sebelumnya menuju Kyoto. Boleh tidak?”
Aku
tersenyum lalu mengangguk maklum. Dasar. Ini hanya kedok supaya aku mau
menuruti kemauannya. Menurut Maruko-chan, saudara kembarnya, Haru-chan memiliki
perasaan khusus padaku. Karena itu ia sering memberiku perhatian lebih dari
sekedar hubungan tetangga.
“Baiklah,
aku akan membelikannya untuk Maruko-chan. Aku pergi dulu. Ja mata ne.”
Aku
kembali melangkahkan kaki dan meninggalkan Haru-chan. Kusempatkan menyapa
satu-dua tetangga di apartemenku, sekedar beramah-tamah saja. Sampai di
gerbang, aku merapatkan jaket dan syal. Baru selangkah keluar dari gerbang, aku
melihat kotak surat milikku terisi penuh. Ah, iya. Aku lupa tak mengecek surat
yang datang sejak dua minggu lalu.
Dengan
terpaksa aku menghampiri kotak suratku dan mengambil seluruh isinya. Ternyata
ada tujuh surat yang ditujukan padaku. Dua surat tagihan barang dari toko musik,
satu surat penawaran asuransi pendidikan, satu surat peringatan dari sekolah,
dua surat dari pengagum rahasiaku, dan… satu surat yang tak jelas. Apakah surat
cinta lagi? Ah, itu lebih baik daripada surat tagihan karena uang sakuku
sebenarnya sedang menipis.
Surat
terakhir itu tak beramplop, ditulis dengan pena hitam pekat menggunakan huruf
hiragana. Tulisannya sama sekali tidak rapi dan terkesan asal-asalan. Karena
penasaran, aku membacanya.
Surat ini kutujukan kepada lelaki yang tengah berdiri
di negeri orang di bawah gugur daun maple.
Siuuutt…
Pluk!
Sehelai
daun maple jatuh tepat di atas kertas
surat. Aku menaikkan alisku sebelah. Shit,
apa-apaan orang ini? Mengapa timing-nya
pas sekali?
Tidak perlu terkejut. Ini memang musim gugur. Dan
pasti kau tengah membaca surat ini di depan gerbang apartemenmu di bawah pohon maple yang
sedang berguguran daunnya. Baka!
Jangan bodoh, pemuda.
Mataku
membelalak seketika. Emosiku tersulut. Orang ini benar-benar mempermainkanku.
Aku tahu kau pemuda Indonesia yang berlagak seperti
orang Jepang. Simpan saja topengmu dulu. Kau perlu keluar dari persembunyianmu.
Kau harus menyesal telah mencoreng-moreng tanah kelahiranmu.
“Baka!” umpatku,”Ternyata orang
Indonesia. Apa maksudnya?”
Pagi
yang terasa amat menggigilkan berubah menjadi terasa gerah. Memang benar bukan
surat tagihan yang kudapat, namun malah surat kaleng sialan. Tanganku
meremas-remas surat kaleng itu dengan sarat emosi.
***
“Hei,
Takuma!”
Aku
menoleh malas ke arah suara yang memanggil namaku. Tiga orang temanku baru saja
memasuki gerbang sekolah dengan penampilan layaknya berandalan. Mereka adalah Kazehaya
Matsumoto−laki-laki tertinggi di kelas dengan tubuh kekar, Akira
Midorikawa−berandalan dari Osaka dengan logat Kansai yang kental, dan Narumi
Shogo−pemain sepak bola andalan di sekolah.
“Mengapa
wajahmu muram begitu?”Akira bertanya dengan mulut sibuk mengunyah permen karet.
Setiap pagi ia memang tak pernah menggosok gigi. Sebagai gantinya, ia selalu
mengunyah permen karet. Asal tahu saja, persediaan permen karetnya bisa sampai
satu kardus besar.
Sebelum
sempat kujawab, Kazehaya menimpali,”Kapan Takuma tak bersedih di akhir bulan
seperti ini? Pasti uang sakumu terkuras habis kemarin.”
Aku
meringis malu. Sialan. Tahu saja dia kalau kemarin aku baru saja membayar sewa
apartemen dan sejumlah tagihan makanan pesan antar yang kupesan selama dua
minggu terakhir. Ya, cuaca yang sangat dingin membuatku malas keluar apartemen
untuk membeli sesuatu. Entahlah, aku belum terbiasa dengan cuaca ekstrim di
Jepang.
“Mau
pergi ke Kyoto saat Natal nanti?” tanya Narumi.
Aku
menggeleng.“Otosan akan mengajakku pulang.”
Kazehaya
memutar bola matanya,“Benarkah? Ke negeri asalmu? Hahaha… Kita perlu
merayakannya. Kalau begitu kau harus traktir kami di kedai ramen pulang sekolah
nanti.”
“Hei,
kau sudah bosan hidup, hah?” aku meninju lengannya perlahan. Kazehaya terkekeh
perlahan.
“Takuma,
kau sudah dengar kabar baru?”Akira mengalihkan topik.
“Kau
tahu aku bukan raja gosip.”
Akira
mengedikkan bahunya,“Ada murid baru di kelas kita.”
Bibirku
menyunggingkan senyum tipis,”Siapa peduli?”
Akira
merangkulku dan berujar,”Jangan katakan kau tak peduli. Lihat saja nanti.”
Aku
menaikkan sebelah alis,”Maksudmu?”
Akira
hanya tersenyum misterius. Aku melirik Kazehaya dan Narumi, meminta penjelasan
dari mereka berdua. Namun kedua temanku itu hanya terkekeh melihatku yang
begitu penasaran.
***
“Ohayou. O genki desu ka?” ujar wali kelasku, Yamamoto-san.
“Haiiik genki desu.” Seluruh murid
menjawab serempak. Cih, seperti anak SD
saja.
“Anak-anak,
hari ini kalian mempunyai teman baru. Sensei
harap kalian bisa berteman dengannya dan membantunya dalam bergaul karena
mungkin ia akan mengalami sedikit kesulitan dalam berkomunikasi.”
Narumi
menyeletuk,”Yamamoto-san! Memangnya dia bisu?”
Yamamoto-san
menggeleng,”Bukan begitu, Narumi Shogo.Tapi karena dia bukan orang Jepang.”
Seisi
kelas mulai riuh. Jelas saja. Kapan lagi kami punya teman bule?
“Kalau
begitu lebih baik sensei panggilkan
saja orangnya.” Yamamoto-san keluar dari kelas. Tak sampai semenit kemudian
beliau kembali bersama seorang perempuan dengan sebuah tas terselempang di
bahunya. Kelas semakin riuh apalagi para kaum adam, termasuk aku. Sementara
respon dari para kaum hawa hanya biasa saja walaupun beberapa terlihat
antusias. Mungkin mereka kecewa karena bukan lelaki bule yang datang. Hahaha.
Dasar, perempuan!
“Silakan
perkenalkan dirimu.” perintah Yamamoto-san pada murid baru.
Perempuan
berparas cantik itu sangat familiar. Bukannya aku mengenalinya. Namun kurasa
aku masih serumpun dengannya. Ia tak berwajah oriental seperti kebanyakan
perempuan China ataupun Jepang sendiri. Kurasa ia berasal dari Thailand atau
Philipina.
“Hajime mashite. Watashi wa Keiko-chan desu. Sebelumnya aku meminta maaf jika
bahasa Jepang-ku masih berantakan. Aku berasal dari Indonesia.”
Apa?
Dari Indonesia? Apa aku tidak salah
dengar?
“Mohon
bantuannya, ya. Douzo yoroshiko.” perempuan
itu membungkuk sebentar dan mengakhiri ucapannya.
Sementara
aku masih shock mendengarnya,
Yamamoto-san memberikan perintah,”Hei, kau, Kazehaya Matsumoto! Pindahlah kau
ke belakang karena Keiko akan menempati bangkumu. Tubuhmu terlalu jangkung
untuk Keiko-chan yang mungil.”
Entah
apa yang mendorongku berbuat, tapi aku tiba-tiba mengacungkan
tangan,”Yamamoto-san! Aku ingin pindah! Aku tak sudi duduk di depan murid baru
itu!”
Sontak
kelas hening seketika.Aku pun acuh tak acuh dengan mereka.
“Ada
apa denganmu, Takuma? Bukankah kalian sama-sama orang Indonesia?” Yamamoto-san
mengernyit, tanda tak mengerti,”Sensei
pikir akan lebih mudah bagi Keiko-chan bila duduk di dekatmu.”
Kata-kata
Yamamoto-san serasa cambuk bagiku. Cuih, mengapa pula beliau mengatakan kalau
asalku dari Indonesia? Harga diriku terasa habis hangus terbakar di depan murid
baru itu.
“Sudahlah,
sensei tidak tahu apa masalahmu.Tapi sensei rasa Keiko-chan memang harus
duduk di belakangmu, Takuma.Kasihan kalau Keiko-chan harus duduk di belakang
sementara ada Tokyo Tower di depannya. Atau kau mungkin bersedia menuliskan catatan
untuknya setiap hari?”
Mulutku
seperti disumpal sampah saat itu juga.
***
Aku
sedang menikmati makan siangku saat murid baru itu menghampiriku. Hampir saja
aku tersedak ramenku sendiri gara-gara kedatangannya yang tiba-tiba itu. Bahkan
bukan aku saja yang terkejut. Ketiga temanku—Kazehaya, Akira, dan Narumi—juga
sama terkejutnya denganku. Murid baru itu mendatangiku dengan sepiring nasi
karinya dan langsung bergabung satu meja dengan kami tanpa mengucap sepatah
kata pun. Awalnya aku juga diam seribu bahasa dan bersikap acuh tak acuh
dengannya. Namun Akira tak bisa menahan mulutnya untuk mengoceh.
“Kau
murid baru di kelas, kan? Perkenalkan, aku Akira Midorikawa dari Osaka. Salam
kenal.” Akira mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. Membuatku ingin muntah
saja.
Murid
baru itu menoleh kaget karena sapaan Akira. Ia lalu tersenyum dan mengulurkan
tangannya,”Salam kenal. Kau bisa memanggilku Keiko-chan.”
Kazehaya
terlihat mengerutkan dahinya,”Keiko-chan?”
Keiko
tertawa,”Ya. Nama belakangku menggunakan bahasa Indonesia. Jadi kalian mungkin
akan sedikit kesulitan memanggilku dengan nama itu. Lagipula aku merasa lebih
nyaman dipanggil Keiko.”
Kazehaya
mengangguk-angguk mengerti,”Aku Kazehaya Matsumoto. Kau juga boleh memanggilku
Kazehaya.”
Apa?
Aku berdecak kesal. Pasti hanya bercanda saja. Kazehaya tak pernah membiarkan
orang lain memanggil nama kecilnya.
“Kau
juga boleh memangilku Narumi.”
Celetukan
dari Narumi membuatku makin tercengang. Hei, apa-apaan mereka bertiga?
“Kenapa
kalian membiarkan orang asing memanggil nama kecil kalian?” protesku.
“Kurasa
itu tak masalah.” ujar Narumi tenang,”Oh, ya, Keiko, kau juga boleh memanggil
Takuma saja.”
“Hei!
Kau jangan macam-macam, Narumi!”
Sebelum Narumi membalasku, Keiko angkat bicara lebih
dulu,”Tenang saja, Takuma-kun. Aku bukan orang asing di kehidupanmu. Kita kan
masih sebangsa dan setanah air.”
Aku melirik Keiko tajam,”Apa maksudmu berkata seperti
itu?”
“Jangan kira gue
nggak tahu tentang pengkhianatan lo, ya.”
Ucapan Keiko yang menggunakan bahasa Indonesia
membuatku dan yang lainnya terkejut. Namun aku langsung membalasnya,”Ngapain lo ngebelain negara itu?Rugi lo.”
Kini ganti Keiko yang menatapku tajam,”Nggak usah muna, lo. Elo emang nggak punya
jiwa nasionalisme dan patriotisme banget, sih?”
“Ngapain juga
gue mesti ngebelain negara yang isinya para koruptor?”
Braaak!!
Tiba-tiba Keiko menggebrak meja. Sontak saja
perbuatannya itu membuat murid lain menoleh kea rah meja kami. Akira segera
menyuruh murid-murid yang lain untuk tidak menghiraukan kami sementara Kazehaya
dan Narumi menenangkan Keiko.
“Tenanglah, Keiko. Lagipula apa sih yang kalian
bicarakan?”
Keiko tak menjawabnya, begitu pula aku.Aku memutuskan
untuk beranjak dari tempat itu walaupun ramenku masih sisa separuh. Sambil membuang
sumpit, aku berkata pada Keiko,”Lo adalah
orang yang nulis surat kaleng, kan? Jangan kira gue bisa termakan omong kosong
lo.”
Keiko terlihat memucat di tempat. Saat itu pula senyum
kemenangan terukir di bibirku.
***
Seperti tahun-tahun sebelumnya, sekolahku mengadakan
perayaan malam tahun baru bersama-sama sambil menantikan turunnya salju pertama
kali. Kali ini panitia pesta perayaan tahun baru yang merupakan perwakilan
siswa dari masing-masing kelas mengangkat sebuah tema yang unik dan menarik. Jika
tahun lalu temanya merupakan kebudayaan Jepang sendiri, sekarang adalah
kebudayaan Asia Barat dan Tenggara. Jelas saja pasti kelas kami memilih untuk
mengangkat tema dari kebudayaan Negara Seribu Pagoda. Sudah lama sekali aku
ingin mengunjungi negara itu.
Tsubaki, sebagai panitia dari perwakilan kelas kami
memimpin rapat. Setelah menjelaskan secara panjang lebar mengenai pelaksanaan
pesta perayaan tahun baru yang dirangkap sebagai festival kebudayaan di musim
dingin, ia mengajukan beberapa negara.“Aku punya usul untuk mengangkat tema
kebudayaan Negara India, Thailand, atau Nepal. Ada yang keberatan?”
Semua mengangguk-angguk setuju. Sampai pada akhirnya
seseorang mengangkat tangannya. Keiko-chan!
“Kenapa tidak mengangkat tema kebudayaan Indonesia
saja?”
Mataku membelalak dan seketika itu pula aku
menyahut,”Hei, apa kau tak tahu sekarang itu musim dingin? Kostum untuk budaya
Indonesia banyak yang tipis dan terbuka. Kau mau kita semua mati kedinginan?”
Keiko-chan mengacuhkanku,”Bagaimana, Tsubaki-kun? Kurasa
kostum tidak masalah. Indonesia masih punya banyak budaya yang sangat beragam. Kurasa
tidak sedikit yang berpakaian tertutup.”
“Hei, memang seberapa tebalnya, sih? Mungkin
teman-teman tidak tahu, tapi kau dan aku sudah tahu pasti bahwa pakaiannya
terlalu tipis, Keiko-chan!”
“Apa maksudmu, Takuma? Memangnya kenapa kalau tipis? Kau
benar-benar takut mati kedinginan? Kalau begitu aku dan yang lainnya saja yang
mau.” Keiko membalikkan badan lalu mengedarkan pandangan ke segala
arah,”Teman-teman, kalian setuju dengan ideku, kan?”
Semua hening, tak merespon pertanyaan Keiko.
Sampai akhirnya Tsubaki-kun berkata,”Maaf, Keiko-chan.
Takuma benar. Aku pernah menyaksikan festival kebudayaan milik negaramu saat
musim panas dan benar, pakaiannya terlalu tipis untuk dikenakan saat musim
dingin seperti sekarang ini.”
“Iya, Keiko-chan. Maaf, ya.”
Bersahut-sahutan permintaan maaf dilontarkan kepada
Keiko. Terlihat Keiko hanya diam membisu dengan tatapan nanar yang tak
kumengerti apa maksudnya.
***
Setelah merayakan Natal di Kyoto bersama tiga sohib
kentalku, aku disibukkan kembali dengan persiapan festival kebudayaan untuk
malam tahun baru nanti. Akhirnya kelas kami sepakat mengangkat tema kebudayaan
dari Negara Nepal. Sebenarnya aku masih sangat menginginkan Thailand, tapi itu
sama saja dengan Indonesia. Jadi
terpaksa aku ikut mengalah saja.
Dan hari yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang. Malam
perayaan tahun baru dengan festival kebudayaan yang baru. Kami sekelas
mengenakan baju hangat ala bangsa Tibet. Kostum yang tidak terlalu buruk karena
setidaknya kami tak perlu repot-repot menggigil saking dinginnya.
Pesta perayaan berlangsung meriah dan lancar-lancar
saja. Apalagi tanpa kehadiran Keiko, segalanya terasa semakin mudah. Ya, sejak
tadi aku belum melihat batang hidungnya. Mungkin ia sedang mendekap di atas
tempat tidurnya seraya meratap, mengapa idenya tak digubris oleh teman sekelas.
Hohoho.
Di tengah-tengah menunggu pergantian tahun, tiba-tiba
kami dikejutkan oleh teriakan-teriakan histeris dari arah lapangan rumput seberang.
Seketika itu hampir seluruh murid di SMA Teitan mengerumuni lapangan itu,
termasuk aku.
“Ada yang
pingsan! Ada yang pingsan!”
“Siapa? Kelas
berapa?”
“Entahlah,
sepertinya ia murid baru kelas dua.”
“Hei, itu
Keiko-chan!”
Mendengar nama itu disebut, mau tak mau aku ikut
mendekat dan menerobos kerumunan. Kulihat di sana tubuh mungil Keiko yang
terbujur di hamparan rerumputan dengan keadaan yang mengenaskan. Tubuhnya hanya
berbalut kemben—pakaian tradisional
khas Indonesia—dengan sehelai kain jarik batik membebat perut hingga lututnya.
Sial, bodoh benar, Keiko!
Walaupun aku membencinya, hati nuraniku tak bisa
berdusta. Aku segera meraih tubuhnya yang sedingin es. Aku mengecek denyut
nadinya yang terasa lemah sekali. Apa dia kedinginan?
“Hei, cepat telepon ambulans!” seruku.
Kazehaya dengan sigap memencet tombol di handphone-nya dan menelepon ambulans. Sementara
aku melepas mantel hangatku dan kupakaikan kepada Keiko. Saat memakaikannya,
aku mendapati secarik kertas di genggaman tangannya yang mulai kaku.
Entah apa yang mendorongku untuk mengetahui isinya.
Tanpa basa-basi aku segera membuka lipatan kertas itu dan membacanya. Dan…
hatiku miris membacanya.
Aku seperti orang kalap dan memeluk Keiko lebih erat.
Kubisikkan namanya dengan harapan ingin ia segera bangun. Namun napas Keiko
mulai habis dan denyut nadinya semakin melemah. Hingga akhirnya sesuatu yang
sedari tadi kukhawatirkan terjadi.
Bersamaan dengan turunnya salju pertama kali di musim
dingin ini, Keiko mengehembuskan napas terakhirnya. Dan entah dari mana
asalnya, sehelai daun maple yang
sudah kering kecokelatan jatuh, seolah baru saja gugur dari tangkainya.
***
Ohayou.
Selamat
pagi, Keiko-chan. Apa kau tenang di sana? O genki desu ka?
Ya, sudah setahun sejak kepergian Keiko-chan. Kini aku
berdiri di depan gerbang apartemenku, di samping kotak surat yang mulai
berkarat. Seperti tahun lalu, aku kembali membaca surat dari Keiko-chan. Kali
ini yang kubaca adalah suratnya yang terakhir, goresan terakhirnya di malam
tahun baru.
Takuma-kun,
aku tahu kau benci dengan tanah air kita. Begitu banyak aib dan keburukan yang
dilakukan hingga mencoreng moreng nama baik tanah air kita. Tapi, kau harus
tahu, siapa lagi yang akan membela tanah air kalau bukan kita? Siapa yang akan
memajukan Indonesia kalau bukan kita? Bukan bangsa Belanda, bukan pula bangsa
Jepang.
Tapi kita,
Takuma-kun
Dan kini aku hanya bisa menatap daun yang terus
berguguran itu.
Kita tidak
selalu bisa membangun masa depan untuk generasi muda, tapi kita dapat membangun
generasi muda untuk masa depan (Franklin
D. Roosevelt)